SPONSOR

Sunday 14 December 2008

Kisah dari Balik Kemudi Mobil Presiden

Suatu hari pada 1999, mobil yang membawa Presiden B.J. Habibie dan Ny. Hasri Ainun nyaris tak bergerak. Massa salah satu partai memadati Jalan Sudirman, tepat ketika iring-iringan mobil mereka melintas di tempat itu. Pasukan Pengamanan Presiden pun langsung berlari-lari membuat pagar betis di sekitar mobil. Namun, kecemasan tetap saja terasa. Di kursi belakang mobil, Habibie menenangkan istrinya, "Tenang saja, Mam. Mobil ini kan antipeluru."

Itulah salah satu kisah Sersan Mayor (Marinir) Pranto Jaya, yang berpengalaman menjadi pengemudi dua presiden: Habibie dan Abdurrahman Wahid. Ia juga dipercaya menjadi pengemudi Megawati Soekarnoputri, ketika menjadi wakil presiden, dan Hamzah Haz. Sebagai sopir VVIP (very very important person), Jaya menjadi saksi aktivitas para petinggi negeri ini selama dalam perjalanan.

Jaya yang mengaku menjadi pengemudi mobil kepresidenan sejak 1990, mengaku punya kesan dan kenangan tersendiri terhadap masing-masing petinggi. Dia merasa kagum dengan kerja keras Habibie. Masuk Istana pada pukul 10.00 setiap hari, kata dia, Habibie baru keluar menjelang dini hari. Di dalam mobil selama perjalanan, menurut Jaya, Habibie yang pakar aeronautika pun asyik dengan komputer jinjingnya. Ketika sebagian masyarakat terus mencacinya, Habibie pun berkeluh, "Biarlah, Jaya, itu karena mereka tak mengerti apa yang saya kerjakan."

Dengan Abdurrahman Wahid, Jaya merasa tak memiliki jarak. Maklum, pembawaan mantan Ketua Umum Pengurus Besar Nahdlatul Ulama itu memang bersahaja. Jaya yang lahir di Tanjung Pinang pada 1960 itu mengaku ikut tertawa lepas saat Presiden mengeluarkan lelucon-leluconnya.

Di perjalanan, kata Jaya, Wahid kerap memintanya memutar karya-karya klasik Beethoven. Sesekali Wahid juga suka menyanyikan tembang Jawa. Namun, ia menyimpan keluhan ketika bergabung dengan presiden ke-4 yang memiliki mobilitas tinggi itu. "Saya tidak bisa salat dengan khusyuk," kata dia, "karena harus selalu siap sedia di balik kemudi."

Satu pengalaman Jaya ketika "membawa" Hamzah Haz adalah ketika dia harus nyelonong ke jalur busway, beberapa bulan lalu. Ia mengaku menyesal, karena setelah itu banyak orang mengecam Wakil Presiden. Dia tahu betul, Hamzah tidak bersalah.
Menurut Jaya, perintah masuk jalur khusus itu justru datang dari polisi di lapangan, karena ada sekelompok orang berdemonstrasi. "Bapak (Hamzah) nggak tahu-menahu, karena beliau langsung ngaji kalau sudah masuk mobil," katanya.

Bagaimana dengan Megawati? Karena amat pendiam, Jaya mengaku tak punya cerita menarik. Yang dia ingat, Ibu Wakil Presiden suka sekali dengan lagu-lagu India. "Saya pernah diminta merekam soundtrack film Taal," ujarnya.

Untuk bisa menjadi sopir kepresidenan, Jaya harus melewati serangkaian tes. Setelah lulus psikotes dan mental ideologi di Badan Intelijen Strategis, dia digembleng di Sirkuit Sentul selama dua pekan. Pelatihnya adalah para pembalap senior seperti Tinton Suprapto dan Aswin Bahar. Di sana, Jaya dan kawan-kawannya dilatih mengemudi zigzag, miring, dan masuk garasi. Semuanya dengan kecepatan tinggi.

Ayah tiga anak itu mengaku, menjadi sopir VVIP bukan cita-citanya. Namun, kini, ia bangga dengan pekerjaannya. Banyak orang bisa mengendarai mobil, tapi menjadi sopir petinggi negeri? "Bisa dihitung dengan jari," ujarnya. Sayang, Jaya kini tak lagi mengemudi untuk Presiden Yudhoyono. Jika masih, bisa jadi ia harus banyak memutar Pelangi di Matamu, "lagu wajib" sang Presiden selama kampanye.

@dikutip dari : http://www.tempointeraktif.com/hg/nasional/2004/10/26/brk,20041026-13,id.html

No comments:

information technology,gadgets,world, local news,health,etc,politics